Wednesday, October 31, 2012
KETIDAKMAMPUAN MENGUNGKAPKAN PERASAAN
Semalam sama mampir ke warung untuk makan pecel lele. Saya datang dan memilih tempat duduk dengan meja panjang. Satu sisi meja dapat ditempati 5 orang. Saya memilih sisi meja yang di belakangnya ada tembok sehingga saya bisa bersandar. Saya duduk di sisi ujung sebelah kanan. Di ujung meja sebelah kiri saya di tempati seorang remaja putri. Sedangkan di tengah di tempati seorang pria. Pria tersebut saya lihat sering makan di tempat ini. Orangnya kalem dan tidak banyak bicara. Sambil menunggu pesanan datang, saya memanfaatkan waktu yang ada untuk online menggunakan HP Android saya, melihat status grup Peduli Trauma. Sambil memainkan HP, saya juga mengamati pria di sebelah kiri saya ini. Saya lihat dia sudah selesai makan dan langsung membayar tapi dia tidak langsung meninggalkan tempatnya. Dia masih duduk-duduk santai di tempatnya. Saya ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya dengan mengamati tingkah lakunya. Sementara mata saya tertuju pada e-book yang saya baca di HP saya, saya bisa melihat pria ini menggoyang-goyangkan kaki kanannya. Saya menangkap bahasa tubuhnya. Dia kelihatan tenang di luar, tetapi sebenarnya sedang gelisah di dalam. Dugaan saya, dia ingin meninggalkan tempatnya tetapi terhalang oleh wanita yang duduk di sebelah kirinya dan terhalang oleh saya yang duduk di sebelah kanannya. Saya sempat ingin membantunya keluar dengan seolah-olah saya mengambil berdiri dan mengambil sesuatu. Tetapi saya mengurungkan niat saya. Saya sendiri mengamati perilaku saya dan bertahan duduk dan mengamati pria di sebelah saya. Pria ini tetap bertahan di tempatnya dengan kegelisahannya. Tapi beberapa menit kemudian, dia memberanikan diri berdiri dari duduknya, meninggalkan tempatnya dengan mencoba jalan di celah yang sempit antara punggung saya dan tembok. Saya tidak mendengar dia berkata "permisi" atau "maaf" sebagai isyarat dia ingin keluar dan minta saya memberinya jalan. Saya hanya bergeser sedikit ke depan untuk memberi sedikit ruang padanya.
Jika kita benar-benar memperhatikan situasi di sekeliling kita, kita bisa mengetahui karakter seseorang dari apa yang dilakukannya. Bahasa tubuh mengungkapkan kebenaran yang jujur tentang diri seseorang. Dari sana kita bisa membaca siapa diri mereka sebenarnya. Seperti cerita di atas, kita bisa tahu bahwa pria tersebut mempunyai masalah ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaannya. Dia tidak mampu untuk mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Dia tidak mampu meminta apa yang dia butuhkan. Dia juga tidak mampu berkata tidak. Seperti juga yang dialami banyak wanita korban kekerasan dan perendahan dari suaminya, dia lebih memilih bertahan dengan segala ketidaknyamanan yang terjadi di dalam dirinya. Kalau dia tidak berusaha untuk mengatasi ketidakmampuannya mengungkapkan perasaannya, dia akan menelan kemarahan pada dirinya sendiri. Kemarahan yang terpendam akan menggunung dan menumbuhkan perasaan tidak berdaya. Ingin melakukan sesuatu tetapi selalu ada yang menahannya untuk melakukan.
Persoalan ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan ini banyak dialami orang dan sering menjadi perilaku yang merusak dirinya sendiri. Perilaku ini menjadikan seorang istri terjebak sangat lama dalam perendahan yang dilakukan suaminya, atau menjadikan seorang suami lama berada dalam dominasi seorang istri yang mengendalikan. Kita semua mungkin menderita sindrom "rasa bersalah" jika ingin mengatakan apa yang seharusnya kita katakan. Tetapi karena ketidakmampuan ini, kita menempatkan diri kita dalam situasi yang tidak membahagiakan. Dan karena perasaaan tidak berdaya yang terjadi, kita hanya mampu menyalahkan orang lain untuk perilaku buruknya kepada kita.
Love Yourself!
Supriyatno
Founder PTSG